Program Biodiesel Sawit (B30) Belum Libatkan Pasokan Bahan Baku Dari Petani
JAKARTA – Sebagaimana pidato kenegaraan Bapak presiden Joko Widodo pada tahun 2019 lalu, bahwa sawit memiliki potensi untuk pengembangan Energi Nabati melalui Biodiesel, Avtur dari sawit dan greenfuel.
Dalam progressnya Kementerian ESDM telah menaikkan level B20 menjadi B30. Dalam implementasinya Wilmar Group memperoleh mayoritas 2.5 juta liter untuk dialokasikan ke Pertamina dan Wilmar memperoleh pasokan dari perusahaan lain, bukan kelembagaan pekebun. “SPKS menyayangkan, rantai pasok B30 yang di inisiasi Bapak Presiden tidak melibatkan masyarakat petani untuk memberi dampak positif,” kata Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT.
Sebab itu SPKS berharap pada tahun 2020, fokus pemerintah bukan lagi pada penyusunan kebijakan baru untuk perkebunan rakyat tetapi kepada aksi nyata demi kepentingan petani sawit. SPKS mengusulkan beberapa masukan yang dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
Pertama, menambah indikator sawit rakyat berkelanjutan dalam Industri biodiesel sebagai pemasok dengan syarat terasosiasi dalam kelembagaan tani dan memiliki STDB (Surat tanda daftar budidaya), yakni revisi permen ESDM terkait biodiesel. Agar program energi terbarukan memberi dampak positif dan petani memperoleh benefit lansung.
Kedua, penataan kelembagaan yang selama ini mengurus sawit rakyat. Saat ini terdapat 3 lembaga yang paling mencolok yakni Kementerian pertanian, Kemenko Perekonomian dan BPDP-KS. Kehadiran BPDPKS sebagai pelaku/ pekerja menimbulkan masalah koordinasi dan mengganggu tercapainya target dan menimbulkan konflik antara BPDP-KS dan direktorat jendral perkebunan serta dinas-dinas di tingkat kabupaten.
Ketiga, menambah keterwakilan petani dalam BPDP-KS. Selama ini, BPDP-KS dikendalikan oleh orangorang keuangan dan utusan industri sawit bukan oleh yang paham terhadap sawit dan solusi bagi masalah-masalah lapangan.
Keempat, RPJMN 2020-2024 disusun lebih kearah strategi aksi dan bagaimana menerapkannya dilapangan khususnya untuk membangun koorporasi rakyat dan Energi baru terbarukan melalui pemberdayaan perkebunan rakyat.
Kelima, hentikan pembukaan sawit baru dengan memastikan peningkatan produktivitas Sawit Rakyat. Karena dengan luas 16,3 juta ha mampu mencapai 80 juta ton CPO nasional.
Dikatakan Deputi II Kantor Staff Presiden (KSP), Abet Nego Tarigan, saat ini dibutuhkan kelembagaan petani yang kuat, serta dukungan keuangan yang memadai, petani juga membutuhkan petani yang mengetahui praktik pengelolaan perkebunan yang baik (good agriculture practices).
“Serta membutuhkan infratstruktur yang memadai, membutuhkan inovasi produk, dan membutuhkan kerja sama yang setara. Indonesia banyak potensi, perlu penyelarasan kebijakan.” kataya
Demikian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki perhatian terhadap persoalan petani sawit khususnya yang berada di dalam kawasan hutan untuk diselesaikan. “Kami melihat persoalan ini dengan hati-hati, karena tidak hanya mengenai regulasi, persoalan ini juga memiliki banyak dimensi yang terkait antara lain ekonomi, sosial, dan politis,” kata Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bidang Konflik Agraria dan Mediasi, Rivani Noor Machdjoeri.
Lebih lanjut kata Rivani, di tahun 2020 ini, dirinya meyakini bahwa penanganan persoalan petani sawit di kawasan hutan akan lebih baik. Apalagi presiden sudah mengatakan mengenai kebijakan satu peta yang akan diselesaikan tahun ini.
Dengan adanya kebijakankebijakan yang bersangkutan dengan geospasial, tumpang tindih lahan, peta konflik, diharapkan KLHK bisa lebih detail menyelesaikan persoalan petani sawit dalam kawasan hutan. Mudah-mudahan ini bisa mendukung perbaikan nasib dan pendapatan serta kehidupan petani sawit secara umum di Indonesia,”ungkap dia. T2
Follow Us!