Laboratorium Pertamina dan ITB Sudah Bisa Memproses CPO jadi BBM
JAKARTA- Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang juga pakar energi, DR Unggul Priyanto mengatakan saat ini laboratorium milik PT Pertamina dan ITB sudah bisa memproses CPO 100 persen menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Secara Laboratorium ITB dan Pertamina sudah bisa memproses CPO 100 persen jadi BBM,” kata alumnus ITB itu.
Teknologi mengolah minyak sawit menjadi 100 persen bensin atau 100 persen solar, bukan lagi sekedar sebagai campuran biodiesel B10 atau B20, kata mantan
ENI, perusahaan dari Italia yang menjadi pelopor konversi kilang minyak nabati pertama di dunia, sudah bekerja sama dengan Pertamina untuk memproses CPO 100 persen menjadi BBM, dan telah memulai proses pengolahan di Kilang Plaju (Refinery Unit III) Palembang, Sumatra Selatan.
“Prosesnya tidak sulit, agak mirip dengan kilang minyak biasa, hanya bahan bakunya menggunakan CPO dan kondisi reaksinya serta suplai hidrogennya yang beda,” ungkap Unggul seperti dilaporkan Antara.
Namun, demikian, untuk membangun pabrik pengolahan green fuel ini hingga bisa digunakan secara massal, menurut Unggul, masih memerlukan waktu sedikitnya tiga tahun lagi.
Unggul mengakui, green fuel berupa green gasoline (bensin 100 persen dari CPO) dan green diesel (solar 100 persen dari CPO) akan sulit bersaing dengan minyak fosil karena harganya yang masih lebih mahal terkait harga CPO yang memang tinggi.
Namun, hal itu bisa diatasi dengan membentuk suatu badan khusus yang mengatur kebijakan perdagangan kelapa sawit. Badan ini akan menetapkan dua harga CPO, untuk pangan dan CPO untuk energi, ujarnya.
Yang perlu diperhatikan, ujar dia, CPO yang digunakan sebagai biofuel tidak perlu memiliki kualitas selevel CPO yang digunakan sebagai bahan pangan (minyak goreng dan margarin).
“CPO untuk pangan sudah memiliki standar, asam lemak bebas (ALB)-nya tidak boleh lebih dari 5 persen, sehingga buahnya tidak boleh terlalu matang. Jika terlalu matang, harganya jatuh karena ALB-nya melebihi batas,” katanya.
Selama ini, persoalan kematangan buah selalu membebani petani sawit karena harus berkejaran dengan waktu memanen agar bisa dijual ke perusahaan untuk diproses menjadi CPO, padahal semakin matang buah sawit, sebenarnya makin besar rendemennya dan semakin banyak CPO yang dihasilkan, ujarnya.
Selain itu, dari sisi proses, CPO untuk energi juga lebih mudah, karena tidak perlu didistilasi untuk memisahkan CPO dari ALB atau free fatty acid (FFA)-nya dan hanya cukup dihilangkan dari getahnya menjadi refined, bleached and deodorised (RBD) palm oil untuk diproses menjadi BBM.
“Jika CPO yang berasal dari tandan buah segar (TBS) sawit petani dibedakan dengan CPO yang dihasilkan perusahaan sehingga ada dua jenis CPO, ini akan lebih baik. Jadi CPO perusahaan hanya untuk pangan dan ekspor, sawit petani untuk BBM dalam negeri,” katanya.
Ia mengatakan, badan tersebut bisa mengatur agar sawit yang dijual petani bisa tetap dibeli dengan harga layak meskipun kualitasnya rendah.
Data Kementerian Pertanian, dari 14 juta hektare lahan sawit, seluas 6 juta hektare merupakan lahan milik rakyat, 8 juta hektare lahan perusahaan swasta dan 1 hektare lahan perkebunan BUMN.
Selain itu, petani tetap bisa untung karena produk CPO untuk BBM yang dihasilkan dari CPO kualitas rendah ini secara kuantitas lebih banyak dibanding CPO untuk pangan, apalagi ADL-nya tidak perlu dipisahkan, ujarnya.
“Harganya diharapkan jadi sama dengan BBM dari minyak fosil atau kalau lebih mahal, paling banter selisih maksimum Rp1.000 per liter itu nanti bisa diambilkan misalkan dari subsidi kutipan ekspor CPO,” katanya.
Follow Us!