Anak Sarjana, Rumah Megah dan Hidup Berkecukupan dari Berkebun Sawit

PELALAWAN
Bentrok fisik meledak di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan. Ratusan massa petani sawit melempari ribuan batu ke arah security PT Nusa Wana Raya (NWR) dan aparat kepolisian. Peristiwa itu berlangsung jelang tengah hari, Selasa (4/2/2020) lalu.
Terdengar beragam pekik suara dari ratusan petani. Ada yang teriak “Lawan.. Lawan..” Ada yang teriak-teriak “Serbu..”, “Mundur. Mundur..” Ada juga yang lantang bersuara “Kami tak takut mati.” Diantara teriakan itu, juga terdengar suara tangis yang pecah dari kaum ibu dan anak-anaknya.
“Kami mempertahankan pokok-pokok sawit milik kami. Mati pun petani sawit sudah siap,” kata Salam Faisal, sehari-hari dipanggil Untung, yang merupakan Ketua Kelompok Tani “Kita Bersama” Desa Gondai.
Kata Untung, dirinya memiliki enam kavling dan sudah lebih seperempat abad menjadi petani sawit binaan PT PSJ di Kecamatan Langgam. Dirinya tak rela kebun sawit miliknya diratakan dengan tanah.
“Hidup saya memang dari sawit. Sejak 1988 kami berkebun sawit. Anak-anak sekolah dan sudah sampai sarjana, membangun rumah dan makan sehari-hari keluarga, ya sumbernya memang dari kebun sawit. Kalau sawit kami ditebangi seperti itu, maka sama saja dengan membunuh petani sawit. Makanya kami melawan,” ujar Untung didampingi rekannya Sunarto.
Dirinya berharap, jangan lagi sawit-sawit milik petani ditebangi karena alasan berada di kawasan hutan. Seharusnya petani-petani sawit di Riau dibina. Bukan dibinasakan dengan menebangi pokok-pokok sawit mereka yang sedang berbuah produktif.
Kapolres Pelalawan, AKBP Hasyim Risahondua mengakui terjadinya bentrok fisik di lapangan. Dia mengatakan, insiden bentrok fisik antara massa petani dengan security dan aparat terjadi spontan. Tapi langsung bisa diatasi dan keadaan kembali kondusif dalam beberapa jam.
Akibat bentrok fisik itu, sedikitnya tiga anggota polisi terluka lantaran terkena lemparan batu. Bahkan, ada seorang anggotanya mengalami luka akibat terkena senjata tajam. Di pihak petani sawit, juga dilaporkan beberapa orang terluka terkena lemparan batu dan terkena pukulan kayu.
“Kita sudah minta semua pihak menahan diri. Yang jelas saat ini situasi telah kondusif,” katanya seraya menjelaskan tidak ada dari pihak mana pun yang diamankan polisi dalam bentrokan tersebut.
Bentrok fisik itu bermula dari eksekusi lahan milik petani plasma PT Peputra Supra Jaya (PSJ) di Desa Gondai. Ratusan petani yang tergabung dalam KUD dan kelompok tani, sejak awal 2020 lalu sudah menolak eksekusi itu. Mereka bahkan sampai mendirikan tenda-tenda darurat untuk menjaga dan melindungi kebun sawit milik mereka dari eksekusi aparat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau.
Eksekusi DLHK itu merupakan pelaksanaan dari putusan Mahkamah Agung Nomor: 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 dengan objek lahan perkebunan kelapa sawit di Desa Gondai pada kawasan hutan negara seluas 3.323 hektare.
Diperkirakan lebih 1.000 hektare lahan sawit yang telah dieksekusi dengan mempergunakan puluhan alat berat yang bekerja siang dan malam.
Salah seorang tokoh di Desa Gondai Muhammad Setiawan menyebutkan, dirinya dan masyarakat Gondai lainnya sangat berkeberatan dan menolak keras dengan diratakannya kebun sawit milik petani.
Makanya setiap hari, hampir seratusan petani secara bergantian terus berjaga di areal perkebunan mereka. Bahkan sebahagian petani ada yang mendirikan tenda-tenda darurat dari terpal.
“Hasil dari kebun sawit itu satu-satunya yang diharapkan masyarakat untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Untuk biaya sekolah serta ditabung untuk melanjutkan hidup dan penghidupan di masa datang,” kata Muhammad Setiawan.
Dirinya heran, tanah kebun sawit yang mereka tanami adalah milik ulayat dan tanah tumpah darah mereka. Sejak PT PSJ membantu mereka menjadi “Bapak Angkat”, masyarakat baru merasa punya penghasilan yang layak dan bisa membiayai hidup serta bisa membiayai sekolah anak-anak sampai ke perguruan tinggi.
Sekarang kebun sawit petani digusur dan diratakan dengan dengan tanah, dari mana lagi masyarakat akan mendapat hasil secara ekonomi seperti yang sudah dirasakan belakangan ini. “Untuk itu, kami mohon kepada pemerintah bersikap adil kepada masyarakat kecil seperti kami. Minta tolong Pak Presiden Jokowi bantu masyarakat Desa Pangkalan Gondai. Kami ingin punya penghasilan untuk makan anak cucu kami,” katanya.
ROKANHILIR
Sebahagian masyarakat Rokanhilir menggantungkan hidup sebagai petani sawit. Ada yang mandiri dan ada pula yang menjadi petani plasma dari perusahaan-perusahaan sawit yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Sawit Indonesia (GAPKI) Riau.
Di banyak kecamatan, seperti Kecamatan Rimba Melintang, Kecamatan Bagan Sinembah, Kecamatan Tanah Putih atau Kecamatan Bangko Pusako, ribuan hektare lahan sawit menghampar luas. “Di kampung ini, sawit merupakan salah satu penopang perekonomian warga masyarakat,” kata J Simarmata, warga Teluk Kota Kepenghuluan Pematang Botam Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir.
J Simarmata merupakan pendatang dari Sumatera Utara. Awalnya, dia merantau ke Riau dengan modal membeli satu kavling kebun sawit. Tapi kini sudah sekitar 90 kavling kebun sawit atau sekitar 180 hektare miliknya di daerah Kepenghuluan Pematang Botam, Rimba Melintang.
Pada awal-awal berkebun sawit, Simarmata mengerjakannya bersama anak-istrinya saja. Ketika luas kebunnya bertambah dan terus bertambah, Simarmata akhirnya membuka peluang kerja untuk masyarakat tempatan dan sanak saudaranya dari kampung halaman Pulau Samosir.
Kata Simarmata, dirinya sangat bersyukur dari tidak memiliki apa-apa, sekarang ini sudah memiliki rumah yang megah dan mobil-mobil yang terbilang mewah dari selama ini tekun menjadi petani sawit. “Saya semakin bersyukur kepada Tuhan YME dengan berkebun sawit ini, karena bisa hidup berkecukupan. Bahkan bisa membuka lapangan kerja untuk sanak saudara saya dari Samosir, juga membuka lapangan kerja untuk masyarakat tempatan,” kata lelaki berusia 54 tahun ini.
Beberapa pekerjaan yang terbuka pada perkebunan sawit miliknya seperti mendodos (panen) buah sawit, melakukan pemupukan atau melangsir buah-buah sawit ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) miliknya.
“Dengan berkebun sawit, saya dan keluarga mendapat rezeki yang cukup. Masyarakat di sekitar kami, juga sanak saudara kami dari kampung, ikut mendapatkan rezeki dari kebun sawit milik kami. Sungguh ini anugerah Tuhan YME yang harus disyukuri,” katanya.
KAMPAR
Kalau berkunjung ke Desa Pelambaian Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, hamparan kebun-kebun sawit milik masyarakat dan perkebunan milik perusahaan-perusahaan anggota GAPKI Riau seperti Sinarmas Grup, PT Perkebunan Nusantara 5, dan lain-lain, membentang luas ribuan hektare.
Ketua Kelompok Tani Prima Jaya Tapung, Jamri, menyebutkan dirinya dan ratusan kepala keluarga (KK) di Desa Pelambaian sudah lebih dua puluh tahun menggantungkan hidup dari berkebun sawit.
“Kami petani sawit di Desa Pelambaian ini adalah plasma dari PTP Nusantara 5. Dulunya kami transmigrasi asal Pulau Jawa,” ungkap Jamri.
Bukan hanya di Desa Pelambaian, masyarakat di sembilan desa lainnya dalam wilayah Kecamatan Tapung yang bergabung, antara lain Desa Sumber Makmur, Desa Trimanunggal, Desa Tanjung Sawit, Desa Indra Sakti, Desa Gading Sari, Desa Kijang Rejo, Mukti Sari dan sebagainya, sebahagian besar menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit.
Sebahagian petani sawit saat ini tengah menunggu replanting atau peremajaan perkebunan sawit karena usia sawit sudah mencapai 25 tahun. 
“Kami bersyukur sudah seperempat abad hidup dari hasil memanen buah sawit. Sebagian petani bahkan sudah sukses dan kaya dari berkebun sawit ini,” jelas Jamri lagi.
Saat ini, sambil menunggu replanting, sebagian petani sawit yang bergabung dalam Kelompok Tani Prima Jaya Tapung, sudah menanam pohon coklat atau kakao. Ternyata, di antara pohon-pohon sawit, bisa juga ditanami kakao. Alhasil, dari kebun sawitnya, masyarakat bisa mendapatkan penghasilan dari panen buah sawit dan panen buah kakao sekaligus.
Kades Pelambaian, Supriono, membenarkan petani sawit di daerahnya bisa mendapatkan dua sumber penghasilan dari kebun sawit milik mereka. Ini awalnya karena proses kreatif dari petani sawit, juga ditambah bimbingan dari “Bapak Angkat” PT CPI. “Kebetulan, tanah mineral di Desa Pelambaian dan desa-desa sekitar sini cocok pula ditanami kakao, selain ditanami sawit,” jelas Supriono.
Supriono sendiri adalah generasi kedua di Desa Pelambaian yang hidup dari berkebun sawit. Selain menjabat Kades, dirinya sehari-hari juga masih berkebun sawit. Orang tuanya yang merupakan transmigrasi dari Cilacap, Jawa Tengah, pada masa Presiden Soeharto adalah generasi pertama yang hidup dari berkebun sawit di Kabupaten Kampar.
“Kami sudah beranak pinak hidup dari berkebun sawit di Pelambaian ini. Terbukti memang berkebun sawit memberikan kehidupan yang cukup bagi masyarakat desa ini,” kata Supriono.
PEKANBARU
Dalam sebuah seminar bertema “Mungkinkah Riau Tanpa Sawit?” di Pekanbaru, Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Riau, Irwan Mulawarman menyebutkan, perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya menopang hingga 39,31 persen terhadap perekonomian Provinsi Riau, sehingga membutuhkan kebijakan khusus dari pemerintah daerah agar perekonomian daerah bisa terus tumbuh.
Sebelumnya, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Riau, Siti Astiyah menjelaskan kontribusi sawit lebih besar ketimbang sektor pertambangan dan penggalian yang sumbangankannya pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau.
“Sulit menggeser sawit sebagai komoditas unggulan di Riau dalam jangka pendek karena masih banyak masyarakat Riau yang menggantungkan kehidupannya di sektor sawit ini,” ujarnya.
Dijelaskannya, berdasarkan kajian yang dilakukan BI Pekanbaru, luas perkebunan sawit di Riau sudah melebihi 2,42 juta hektare atau sekitar 25 persen dari luas sawit secara nasional.
Pada sektor industri dan tenaga kerja di Riau, kata Kepala BI menjelaskan, sebanyak 167 dari 219 perusahaan dalam industri makanan di Bumi Lancang Kuning menggunakan produk sawit, dan telah menyerap 43.395 orang tenaga kerja atau 70,6 persen dari total tenaga kerja industri besar dan sedang.
Begitupun pada sektor ekspor. BI mencatat kinerja ekspor Riau, sebesar 61,47 persen merupakan minyak dan lemak nabati. Sebanyak 91,2 persen diantaranya adalah minyak mentah kelapa sawit Crude Palm Oil (CPO).
Dengan ditopang sawit beserta seluruh industrinya, pada 2017 lalu, Provinsi Riau berkonstribusi sebesar 5,04 persen terhadap total PDRB seluruh provinsi di Indonesia. Angka itu menempatkan Riau menjadi provinsi dengan PDRB terbesar kelima di Indonesia dan terbesar di luar Pulau Jawa.
Hanya saja, catatan BI yang perlu diperhatikan pada sektor sawit ini adalah pentingnya melakukan hilirisasi. “Untuk memaksimalkan potensi sawit di Riau, maka harus dilakukan hilirisasi, sebab mayoritas sawit Riau dikirim ke luar negeri sebagai bahan mentah,” katanya memberi saran.
Guru Besar dari Universitas Riau Prof Almasdi Syahza mengatakan bahwa sawit memiliki dampak ekonomi ganda (multiplier effect) yang besar di Riau. Hampir semua lini kehidupan masyarakat di Riau diuntungkan dengan perkebunan sawit dan pengembangan komoditas sawit. Berdasarkan hasil penelitian di Universitas Riau, indeks kesejahteraan masyarakat pedesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di level petani sawit, rata-rata pendapatan pada 2015 lalu sudah mencapai 4.670 hingga 5.500 Dollar AS per tahun atau setara Rp70 Juta hingga Rp82 Juta per tahun (kurs Rp15.000,-).
Prof Almasdi menambahkan, sawit juga telah memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat dalam upaya mengetaskan kemiskinan di pedesaan. Dampak itu terlihat dari indikator, salah satunya usaha tani kelapa sawit telah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan mengurangi pengangguran di daerah pedesaan.
Hal yang sama disampaikan akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ricky Avenzora. Katanya, perkebunan sawit dan semua industri yang berkaitan dengan sawit sudah memberikan banyak pemasukan ke negara dari berbagai bentuk pajak dan karenanya harus dilindungi dan dikembangkan secara khusus.
Ricky mengungkapkan, berdasarkan penelitian PASPI (Palm Oil Agribusiniss Strategic Policy Institute), pendapatan rumah tangga petani sawit dibandingkan dengan rumah tangga petani non-sawit, secara umum pendapatan petani sawit lebih tinggi. Secara rata-rata, pendapatan petani sawit bukan hanya lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit tetapi juga bertumbuh lebih cepat. Pendapatan petani sawit meningkat dari Rp.14 juta/hektar/tahun (2009) menjadi Rp.31 juta/hektar/tahun (2013). Sementara pendapatan petani non-sawit (petani padi dan petani karet) hanya meningkat dari Rp4,6 juta/hektare/tahun menjadi Rp7,2 juta/hektare/tahun pada priode yang sama.
Bila mencermati kehidupan petani sawit di Kabupaten Pelalawan, Rokanhilir dan Kampar, serta analisis Bank Indonesia, ditambah ulasan guru besar Universitas Riau dan hasil penelitian dari PASPI, maka dapat disimpulkan aktivitas perkebunan sawit di Riau telah memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan ekonomi pedesaan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha masyarakat, serta memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan paling penting memberikan banyak pendapatan untuk negara.***

sumber : http://www.transriau.com/read-500-15740-2020-03-13-anak-sarjana-rumah-megah-dan-hidup-berkecukupan-dari-berkebun-sawit.html