Inilah 5 Tujuan Ekspor Produk Sawit RI di 2018
Jakarta, Rilis data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, ekspor seluruh produk sawit RI (crude palm oil/CPO dan produk turunannya, biodiesel, serta oleochemical) sepanjang tahun lalu naik 8% menjadi 34,71 juta ton.
Dari jumlah tersebut, India masih menjadi konsumen utama produk sawit RI dengan total ekspor ke Negeri Bollywood sepanjang 2018 mencapai 6,71 juta ton.
Kendati demikian, kinerja tersebut sebetulnya turun cukup signifikan 12% dibandingkan tahun 2017 (year-on-year/yoy) sebesar 7,63 juta ton. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah India yang menaikkan bea masuk CPO menjadi 44% dan produk turunannya sebesar 54% dan berlaku sejak 1 Maret 2018.
“Sampai tutup tahun kemarin, tarif itu masih berlaku dan belum ada tanda-tanda akan diturunkan di tahun ini,” kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono dalam konferensi persnya, Rabu (6/2/2019).
Posisi kedua ditempati Uni Eropa dengan ekspor sepanjang tahun lalu sebesar 4,78 juta ton, turun 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan itu disebabkan kampanye negatif yang terjadi terus menerus di Benua Biru, baik melalui rancangan regulasi Renewable Energy Directives II (RED II) di tingkat Uni Eropa maupun hambatan impor di negara anggota masing-masing.
Negara tujuan ekspor sawit ketiga RI di tahun lalu adalah China dengan total ekspor mencapai 4,41 juta ton. Jumlah itu melonjak 18% yoy, sejalan dengan komitmen pemerintah China menambah kuota impor CPO dari Tanah Air hingga 500 ribu ton.
Negara-negara Afrika menjadi pengimpor produk sawit terbesar keempat RI sepanjang 2018 dengan total impor sebesar 2,58 juta ton, naik 13% yoy. Pemerintah melalui berbagai misi dagang memang sedang mengintensifkan perluasan pasar ekspor non-tradisional, salah satunya ke Afrika.
Negara tujuan ekspor non-tradisional lainnya yang melengkapi posisi 5 besar adalah Pakistan, dengan total ekspor 2,48 juta ton, tumbuh 12% secara tahunan.
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (REUTERS/Luis Echeverria)
|
Diversifikasi
Produk sawit RI merupakan salah satu andalan dalam ekspor Indonesia. Namun, neraca perdagangan Indonesia tahun lalu defisit sebesar 8,57 miliar dolar AS. Hal itu turut berkontribusi negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, untuk mengatasi defisit itu, diversifikasi pasar ekspor mendesak dilakukan.
Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menyatakan, diversifikasi itu bisa dilakukan dengan memperluas pasar ke negara-negara nontradisional.Indonesia bisa mengambil peluang untuk memasarkan produk industri yang punya daya saing di negara tujuan tersebut.
“Kalau hanya mengandalkan ekspor ke AS, China, Jepang akan begini-begini saja (defisit),” tutur Heri Firdaus, kepada CNBC Indonesia, saat ditemui di Bursa Efek Indonesia, Rabu (6/2/2019).
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (REUTERS/Luis Echeverria)
|
Heri mengilustrasikan, jika neraca perdagangan tidak masuk dalam komponen pertumbuhan ekonomi, di 2018 lalu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bisa tumbuh hingga 5,5%.
“Tapi kan neraca dagangnya negatif, ini jadi faktor pereduksi,” imbuh dia.
Cara kedua yang bisa dilakukan pemerintah, menurut INDEF, adalah dengan mengendalikan impor secara bijak.”Gak bisa dibatasi semua, impor dampaknya bagus ke produksi seperti impor bahan baku, barang modal. Tapi impor barang konsumsi memang harus dikendalikan secara bijaksana,” kata dia.
Follow Us!