Kadin Yakinkan Retaliasi Upaya Akhir Pemerintah Lawan Diskriminasi Sawit
JAKARTA-Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meyakini pemerintah saat ini terus berupaya melakukan lobi-lobi terhadap keputusan RED II atau Delegated Act yang dikeluarkan Uni Eropa. Adapun ancaman retaliasi dagang yang dilontarkan pemerintah terhadap UE adalah bagian dari negosiasi untuk menunjukkan posisi Indonesia dan komitmen pemerintah melindungi sekitar 17 juta pekerja di industri sawit.
“Kita melihat bahwa sawit itu menjadi satu komoditas penting bagi Indonesia. Jadi kalau kita di-hit jelas semuanya harus melawan, nggak mungkin kita diam saja. Dan saya sudah sampaikan ke teman-teman pengusaha bahwa kita juga harus memahami posisi pemerintah Indonesia,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, Selasa, 9 April 2019.
Saat ini Indonesia bersama negara-negara Produsen sawit, Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) yang saat ini getol berjuang melawan diskriminasi dari Uni Eropa. Delegasi Indonesia, yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, bersama dengan pemerintah Malaysia dan Kolombia sedang berada Brussel, Belgia untuk melobi kebijakan Uni Eropa terhadap minyak sawit (crude palm oil/CPO).
Shintapun meyakini upaya pemerintah saat ini masih pada tahap awal dan bukan berarti Indonesia pasti akan melakukan retaliasi atau menutup hubungan dagang dengan Eropa. Sebaliknya, ini adalah satu proses yang memang harus ditunjukkan pemerintah dan pengusaha harus dukung.
“Pemerintah jelas harus menunjukkan kepada UE bahwa kita berani loh. Kamu jangan main-main dengan kita. Menurut saya, kepentingan 17 juta petani Indonesia memang harus dikedepankan. Kalau kita bicara inklusivitas ya ini dia,” tambahnya.
Shinta mengaku, dirinya memahami adanya keresahan pelaku usaha di luar industri sawit akan sentimen negatif yang muncul dari kisruh sawit ini yang akan mempengaruhi ekspor mereka ke Eropa, seperti contohnya industri alas kaki.
“Tapi menurut saya pemerintah Indonesia juga akan mengerti, nggak kemudian dia boikot dan perang dagang. Tidak begitu. Ini kan satu strategi negosiasi. Tapi dalam pelaksanaannya nanti tentu pemerintah akan pertimbangkan kepentingan pemain-pemain lain [di luar industri sawit],” jawabnya yakin.
Shinta meyakini pemerintah sedang memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk meyakinkan Parlemen Eropa agar setidaknya menunda pemberlakuan Delegated Act yang mendiskriminasi sawit. Pasalnya, apabila isu ini nantinya dibiarkan berperkara di WTO tentu akan memakan waktu yang lama.
“Memang pasti akan mengarah ke WTO, tapi kan kita harus punya posisi. Saat-saat seperti ini nasionalisme kita dites, kita berikan kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan lobi-lobinya. Tapi pada akhirnya saya yakin pemerintah pasti akan melindungi industri lainnya,” tegasnya.
Shinta juga meyakini, sinyal yang diberikan pemerintah untuk menahan negosiasi perjanjian dagang Indonesia-EU CEPA memang perlu diperlihatkan.
“Tapi menurut saya Indonesia-EU CEPA itu kan melingkupi banyak hal. Jadi pemanfaatan Indonesia-EU CEPA itu harus dilihat plus minusnya. Kalau terus bagaimana, kalau berhenti bagaimana. Kalau terus pun belum tentu cepat selesai. Saya rasa sekarang belum saatnya kita menentukan bagaimana,” jelasnya.
Shinta berharap ke depannya dunia usaha akan terus diajak bicara dan berkonsultasi dengan pemerintah sebelum mengambil langkah lebih jauh, misalnya menghentikan sementara negosiasi perjanjian tersebut.
Follow Us!