Tak bisa dipungkiri, masalah kewarisan merupakan salah satu masalah penting dalam kehidupan manusia. Kewarisan bisa timbul karena adanya tiga hal. Pertama adanya orang yang meninggal dunia, yang disebut dengan pewaris, Kedua, adanya harta peninggalan, yang merupakan harta kekayaan si pewaris. Sedangkan yang ketiga, adanya orang yang menerima harta warisan tadi, yang disebut dengan ahli waris. Adanya pewarisan berarti adanya perpindahan perekonomian, berupa harta benda dari si pewaris kepada ahli waris.
Sementara itu terlebih dulu harus dilihat definisi dari hukum kewarisan. Hukum kewarisan menurut Prof. Subekti adalah serangkaian peraturan yang mengatur mengenai sebab-sebab perpindahan harta kekayaan manusia dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Di Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya muslim, ada beberapa sistem kewarisan yang berlaku. Yang tertua adalah sistem kewarisan menurut hukum adat. VanVollenhoven membagi Indonesia menjadi sembilan belas daerah hukum adat. Sistem kewarisan menurut hukum adat ini bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Ada sistim kewarisan yang individual dan ada sistim kewarisan yang kolektif. Sistem kewarisan kolektif terbagi dua yaitu sistem kewarisan kolektif murni dan sistem kewarisan mayorat. Sistim kewarisan inidvidual dapat kita temui pada masyarakat yang tidak berklan seperti di Jawa. Sementara sistem kewarisan kolektif murni kita temui pada masayarakat berklan misalnya Minangkabau, Batak, dan Lampung.
Sistem kewarisan kedua yang masuk di Indonesia adalah sistim kewarisan Islam, yang muncul seiring dengan masukya agama Islam di Indonesia. Sistem kewarisan Islam yang merupakan salah satu elemen penting dari syariat Islam mulai berkembang dan diterima di Inonesia dengan perantaraan para muballig yang senantiasa menyebarkan agama Islam. Sistem kewarisan yang ketiga adalah sistem kewarisan menurut Hukum Perdata Barat, yang berpedoman pada Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari ketiga sistem hukum kewarisan di atas semuanya mempunyai karakteristik sendiri-sendiri .
Hukum Kewarisan Islam yang saat ini berlaku di Indonesia, mempunyai beberapa mazhab atau ragam peraturan. Yang pertama adalah mazhab dari Ahlu Sunnah Wal Jamaah, atau lebih dikenal dengan ajaran patrilineal Syafi�i, mengingat penduduk Indonesia sebagian besar bermazhab Syafi�i. Pada mazhab ini hukum kewarisan Islam mengambil sumber selain dari Al-Qur;an juga mengambil lewat sumber-sumber Hadits Rasul. Yang kedua adalah mazhab atau aliran Prof. Hazairin, guru besar Fakultas Hukum UI, yang terkenal dengan bukunya Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur�an dan Hadits, yang membawa suatu perubahan besar dalam bidang hukum kewarisan Islam.
Dalam bukunya, Hazairin mengemukakan beberapa teori yang berbeda dengan yang dipunyai Ahlu Sunnah. Boleh dibilang kehadiran Hazairin merupakan suatu mazhab baru dalam lapangan hukum kewarisan Islam. Sementara sistem ketiga yang berlaku adalah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI pada awalnya merupakan suatu langkah penyatuan pendapat (jumhur) para ulama dalam suatu kongres Ulama, yang kemudian aspirasi mereka mengenai perlunya suatu kesatuan hukum dalam bidang hukum kewarisan Islam di Indoensia dtampung oleh pemerintah.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana terdapat tiga buku didalamnya. Buku I mengenai perkawinan, buku II mengenai kewarisan dan Buku III mengenai hibah dan wakaf. Yang menjadi pedoman disini adalah Buku II KHI pasal 178 sampai 194.
Kalau kita bandingkan antara ajaran Hazairin dan Syafi�i, ada beberapa persaman dan perbedaan. Persamaannya adalah kalau kita bahwa baik Hazairin dan Syafi�i sama-saman menggunakan Al-Qur�an , terutama surat An-Nisaa ayat 7, ayat 12, dan ayat 176. Memang ayat-ayat Al-Qur�an diatas merupakan ayat-ayat Qur�an utama mengenai masalah kewarisan. Namun ada perbedaan yang tajam antara ajaran Hazairin dan Syafi�i, terutama mengenai masalah ahli waris pengganti. Hazairin mengemukakan bahwa setiap ahli waris itu ada ahli waris pengganti, dimana berdasarkan kelompok keutamaan masing-masing. Hazairin mendasarkan pendapatnya ini pada Al-Qur�an surat An-Nisaa ayat 33, sementara menurut Syafi�i, Surat An-Nisaa ayat 33 hanya merupakan salah satu bagian dari ayat-ayat mengenai hukum kekeluargaan, jadi bukan ayat mengenai hukum kewarisan. Yang dimaksud Hazairin dengan Kelompok Keutamaan I adalah anak dan keturunannya, Kelompok Keutamaan II adalah orangtua dan saudara, Kelompok Keutamaan III adalah Kakek, Kelompok Keutamaan IV adalah saudara dengan garis menyamping sampai derajat keenam. Konsep kelompok keutamaan tidak dikenal dalam Syafi�i. Syafi�i tidak mengenal masalah penggantian ahli waris, ataupun kelompok keutamaan, sebab Syafii membagi ahli waris itu kedalam tiga kelompok, yaitu dzul faraid, ashabah dan dzul arham,. Dzul faraid adalah orang yang menerima bagian tertentu, sementara ashabah adalah ahli waris yang memperoleh bagian sisa dan dzul arham merupakan keturunan ahli waris yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris namun tidak mewarisi dalam kedudukan dzul faraid dan ashabah.
Selain itu dalam ajaran Syafi�i juga dikenal adanya hijab menghijab. Artinya seorang ahli waris dapat menyebabkan ahli waris lainnya terhalang menerima bagian,. Sebagai contoh, apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang istri, dua orang anak perempuan, satu orang bapak dan tiga orang saudara, maka berdasarkan ajaran hijab menghijab ini, tiga orang saudara tidak akan mendapatkan warisan karena terhijab (terhalang) oleh bapak. Kalau kita selesaikan maka istri menerima 1/8, dua orang anak perempuan 2/3 dan sisanya untuk bapak, yaitu 1- (1/8+2/3) = 1/12 bagian.
Kalau kita menganalisa mengenai hukum kewarisan bilateral Hazairin, yang merupakan salah satu mazhab baru dalam hukum kewarisan Islam, maka pertama-tama kita harus melihat latar belakang keilmuan Hazairin. Hazairin merupakan guru besar Fakultas Hukum UI terutama di bidang hukum adat. Oleh karena itulah ketika Hazairin pertama-tama mengemukakan pendapatnya mengenai hukum kewarisan bilateral, banyak orang terutama dari kalangan Ahlu Sunnah yang bermazhab Syafi�i menolaknya, karena mereka menganggap bahwa Hazairin itu bukan berasal dari kalangan pesantren atau ulama, namun berani menterjemahkan Al-Qur�an. Oleh karena itu banyak dari kalangan Ahlu Sunnah yang menolak pendapat Hazairin. Sementara itu kalau kita perhatikan bahwa sebenarnya Hazairin iustru menterjemahkan Al-Qur�an dari sudut ilmu hukum, sehingga pendapat Hazairin itu merupakan pengamatan beliau dari dasar keilmuannya yaitu sudut ilmu hukum.
Namun keanekaragaman berbagai macam segi peraturan di Indonesia ini untuk kalangan umat Islam harus kita tanggapi dengan pikiran jernih. Adanya keanekaragaman ini sebenarnya merupakan salah satu tanggapan mengenai ijtihad manusia yang didapatkan dari Ar-Ra�yu (akal pikiran manusia) yang merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia.
Oleh karena itu sebagai umat Islam janganlah melihat pada perbedaan dari berbagai macam pendapat di bidang hukum kewarisan Islam, namun kita lihat dari segi persamaannya, yaitu peraturan-peraturan atau mazhab-mazhab ini merupakan salah satu kekayaan pemikiran dari umat Islam yang semestinya harus terus ditumbuhkembangkan. Sebagai umat Islam kita tidak boleh mengikuti secara taklid buta suatu ajaran yang diberikan pada masa-masa lampau, namun kita harus terus mengkajinya, karena zaman itu berubah sedemikian cepat, sehingga tidak tertutup kemungkinan semakin bertambahnya kemajuan zaman sehingga peraturan-peraturan yang ada sekarang mungkin saja tidak sesuai dengan keadaan dimasa lalu.
Perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia dalam sejarah 58 tahun kemerdekaan Indonesia cenderung stagnan. Namun, terobosan penting dilakukan pada tahun 1989 ketika lahirnya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 undang-undang ini, ditegaskan bahwa masalah kewarisan Islam merupakan kompetensi absolut peradilan agama. Terobosan penting lain yang pernah dilakukan adalah ketika terbentuknya Kompilasi Hukum Islam dengan buku tentang waris sebagai salah satu bagiannya. Namun, mengingat bahwa Kompilasi Hukum Islam diatur dalam sebuah Instruksi Presiden, dimana derajat kekuatan mengikatnya sangat lemah, maka pengaturannya menjadi tidak signifikan lagi, karena saat ini Instruksi Presiden tidak lagi masuk dalam tata urutan perundang-undangan.
Di tengah-tengah era syariat Islam saat ini, sudah semestinya hukum kewarisan Islam diatur dalam derajat yang lebih tinggi, tidak hanya sekedar dalam Instruksi Presiden saja. Sudah saatnya, hukum kewarisan Islam diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri, sama seperti masalah perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974, maupun masalah zakat yang diatur dalam UU No.38 Tahun 1999. Mudah-mudahan, sebagai salah satu bagian penting dari hukum Islam, hukum kewarisan Islam Indonesia dapat terus berkembang seiring perkembangan zaman dan kesadaran penggunaan hukum kewarisan Islam, apapun mazhab yang digunakan dapat semakin meningkat. Wallahualam bishawab.
* NoviYanti Absyari adalah Asisten Notaris di Jakarta
** M. Fajri adalah Konsultan GCG di Jakarta
PT Perkebunan Nusantara V - 2006
Powered by /a href=http://www.auracms.tk>auraCMS v1.62
Artikel adalah properti kontributor, kami tidak bertanggung jawab atas artikel yang tampil di situs ini.