MEMBERANTAS DEVIL'S ADVOCATE Kamis, 28 Desember 06 - oleh : MOHAMAD FAJRI M.P
Devil�s advocate (pengacara setan) merupakan sosok yang harus diberantas dan dibuang jauh-jauh dari sistem hukum Indonesia. Kehadiran devil�s advocate hanya menambah upaya pengrusakan sistematis sistem hukum Indonesia. Pengacara yang menjadi devil�s advocate telah menyimpang dari hakikat keberadaan pengacara, yaitu untuk melindungi dan menjamin tetap terjaganya hak-hak hukum pelaku kejahatan sebagai warga negara dalam upaya mencari keadilan.
Masih terbayang dalam ingatan kasus-kasus devil�s advocate yang terungkap. Kasus pengacara Abdullah Puteh dan pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso yang mencoba menyuap hakim merupakan gunung es dari berbagai kasus lain yang tidak terungkap. Berbagai kasus ini mengisyaratkan bahwa devil�s advocate merupakan sosok nyata yang hadir dan mewarnai sistem hukum Indonesia.
Saling Menguntungkan
Pada prinsipnya, keberadaan devil�s advocate tidaklah mungkin berkembang sendirian. Banyak elemen dan faktor lain yang mendukung perkembangannya. Faktor pertama adalah semakin berkembangnya kejahatan di tengah masyarakat yang terungkap. Perang melawan korupsi yang dilancarkan saat ini akan semakin menambah panjang daftar pelaku kejahatan yang menghadapi proses hukum. Pelaku kejahatan ini tentunya membutuhkan kehadiran pengacara untuk membela kepentingannya. Kehadiran pengacara yang menggunakan cara-cara tidak terpuji akan membantu pelaku kejahatan yang tidak ingin merasakan nikmatnya �hotel prodeo�. Bagi kalangan ini tidak ada salahnya membagi sedikit �rezeki� hasil kejahatannya, asalkan terbebas dari hukuman.
Faktor kedua adalah kesempatan yang diberikan oleh mitra para pengacara dalam proses hukum yakni polisi, jaksa dan hakim. Berlapisnya jenjang suatu perkara untuk diajukan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan membuka celah terjadinya tawar menawar antara pengacara dengan mitranya untuk membebaskan atau minimal meringankan tuntutan terhadap kliennya. Jika saja para mitra pengacara sepakat dan satu suara untuk berkata �tidak� terhadap para devil�s advocate, maka keberadaan devil�s advocate akan musnah dengan sendirinya. Kekuatan bersama ini akan menjadi sebuah kekuatan utama untuk membersihkan citra hukum Indonesia yang terpuruk.
Faktor ketiga adalah belum efektifnya sanksi bagi para devil�s advocate. Kode etik bagi advokat dan pengacara masih banyak yang belum dipatuhi. Keberadaan wadah organisasi advokat sendiri belum berjalan maksimal, yang ada malah kesan komersialisasi untuk menjadi advokat. Terdapat kesan untuk membiarkan keberadaan devil�s advocate dan dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Jika memang terdapat sanksi yang diberikan, maka sanksi tersebut hanyalah sanksi administratif dan belum menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Hal ini tentunya akan merusak citra pengacara bersih yang menggunakan kemampuan terbaiknya untuk membela hak klien. Situasi seperti ini sangat tidak menguntungkan dan akan menghambat penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.
Faktor lain adalah kurangnya kesadaran untuk menerima kekalahan dan kesalahan serta keinginan menghalalkan segala cara. Putusan pengadilan, dakwaan terhadap seseorang yang bersalah belum dihormati. Wibawa pengadilan sedemikian merosotnya sehingga tidak lagi dipandang sebagai tempat terakhir benteng keadilan. Pengadilan telah berubah menjadi pasar dimana transaksi antar penjual dan pembeli sudah sedemikian jelasnya dan bagaikan memiliki peraturan sendiri.
Langkah Solutif
Sebelum memulai mencari langkah penyelesaian terbaik agar sistem hukum Indonesia menjadi semakin baik, kiranya perlu terdapat kesamaan visi,misi dan tujuan dari berbagai elemen hukum untuk memberantas keberadaan devil�s advocate. Korps advokat perlu mencanangkan tekad perang terhadap oknum-oknum yang merusak citra pengacara. Pemerintah selaku regulator harus memberikan dukungan penuh agar citra hukum semakin membaik. Sanksi harus diberikan seberat-beratnya kepada para devil�s advocate. Sementara itu reformasi menyeluruh harus dicanangkan. Tidak saja devil�s advocate yang diberantas, melainkan juga para devil�s perusak lain yang berwujud hakim, jaksa, polisi, penyidik KPK, klien, panitera dan sebagainya.
Pemberantasan devil�s advocate layak dipertimbangkan sebagai satu langkah awal penciptaan kondisi hukum yang bersih dan berwibawa. Jika para devil�s advocate diberantas secara total, maka akan menutup dan menyapu para devil�s lain yang gemar berurusan dengan devil�s advocate. Peradi sebagai organisasi advokat perlu merumuskan code of conduct (CoC) yang menjadi panduan etika advokat, yang memuat berbagai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh advokat. CoC ini haruslah komprehensif sehingga menutup celah praktik devil�s advocate. Langkah berikutnya adalah dengan menegakkan peraturan yang tercantum dalam CoC. Penegakan aturan harus dilakukan tanpa pandang bulu. Institusi pengawasan perlu dilibatkan agar para advokat tidak bertindak di luar jalur. Sanksi tegas harus dijatuhkan kepada advokat nakal, sementara pendidikan para sarjana hukum pun dibenahi agar kelak ketika terjun menjadi advokat merupakan advokat yang baik dan tidak menjadi devil�s advocate. Semoga saja.
*Penulis adalah Senior Associate pada SDP Consulting, penulis dapat dihubungi pada email [email protected]
PT Perkebunan Nusantara V - 2006
Powered by /a href=http://www.auracms.tk>auraCMS v1.62
Artikel adalah properti kontributor, kami tidak bertanggung jawab atas artikel yang tampil di situs ini.