Beberapa Produk Pertanian Indonesia Kuasai Pasar Jepang

Tokyo, Jepang – Beberapa produk pertanian Indonesia telah menguasai 100 persen potensi pasar ekspor Jepang. Antara lain produk minyak nabati dan lemak, lada, dan ubi jalar. Untuk ekspor minyak nabati terdiri atas minyak kelapa sawit, minyak kelapa, dan minyak nabati lain termasuk margarin.  Produk lain yang sudah hadir di Jepang, lateks dan karet alam, kopi, produk pangan lain, kakao dan produk kakao, rempah-rempah, bahan asal tanaman lain, juga sisa produk nabati dan hewani. Ada pula teh & bahan minuman penyegar, kacang-kacangan, bahan pangan asal hewan, buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian.  Atase Pertanian KBRI Tokyo, Sri Nuryanti menjelaskan ekspor yang paling optimal menyerap pangsa pasar di Jepang adalah lateks dan karet alam, yaitu mencapai 98 persen dari total potensi pasar ekspor di Jepang. “Untuk lateks dan karet alam 100 persen ekspor Indonesia berupa technically specified natural rubber (TSNR), bahan baku untuk pembuatan ban kendaraan bermotor di perusahaan otomotif Jepang,” kata Ekspor kopi Indonesia ke Jepang baru mencapai 45 persen dari total potensi ekspor. Sementara itu, ekspor kakao Indonesia ke Jepang sebagian besar telah berupa produk olahan antara lain butter, fat, dan oil, bubuk, pasta, dan sedikit sisanya berupa biji asalan. Jenis rempah yang banyak diekspor ke Jepang adalah lada, kemiri, jahe, panili, kunyit, kayu manis, cengkeh, dan kapulaga. “Gambaran ekspor ini di atas  menunjukkan dominasi subsektor perkebunan. Terdapat juga ekspor komoditas hortikultura dan tanaman pangan, namun realisasinya belum optimal,” tambah Sri.  Sumber impor Jepang untuk sayuran beku, kelapa parut, pisang, tepung sagu, cabe, pisang, bunga potong, terung, tomat, jamur, kubis, selada, dan tanaman hias salah satunya adalah Indonesia. Selain itu, Indonesia merupakan sumber potensial bagi Jepang untuk jambu biji, mangga, manggis, pisang, nanas, dan pepaya baik segar maupun olahan.  Realisasi ekspor pisang dan nanas mencapai 99 persen dari potensi ekspor yang ada. Sejumlah buah belum tergarap potensinya karena adaa kendala teknis persyaratan keamanan dan kesehatan pangan segar yang diberlakukan Jepang. Ekspor stek dan umbi batang tanaman hias telah optimal. Namun, untuk bunga potong, realisasi ekspor Indonesia baru 44 persen dari total potensi ekspor, sehingga masih perlu ditingkatkan. Jepang merupakan pasar potensial untuk bunga krisan, anggrek, dan dracaena.  Dalam hal produk tanaman pangan dan peternakan, Indonesia bukan pemain di pasar Jepang. Bahkan tidak termasuk di dalam 20 besar negara asal ekspor produk tanaman pangan maupun peternakan di Jepang.  “Berita baiknya, Indonesia telah mampu memenuhi 100 persen potensi ekspor untuk komoditas ubijalar manis di pasar Jepang. Prestasi ini harus menjadi pendorong untuk kinerja ekspor komoditas tanaman pangan yang lain,” jelas Sri. Meskipun telah ada lima unit usaha yang memegang ijin ekspor produk olahan daging unggas ke Jepang, realisasi ekspor Indonesia untuk produk peternakan baru mencapai 3 persen dari total potensi ekspor yang ada.  Data ekspor menunjukkan 107 pos tarif produk peternakan yang diimpor Jepang dari pasar dunia termasuk Indonesia dan bervariasi, mulai dari binatang hidup hingga produk olahan (edible), dan sisa produk yang tidak dapat dimakan (unedible). Tarif impor untuk produk peternakan Indonesia yang dikenakan Jepang tergolong tinggi, rata-rata mencapai 23,6 persen (ad valorem). Terdapat 8 pos tarif untuk susu dan produk susu dengan tarif impor di atas 100 persen, bahkan dua di antaranya lebih dari 200 persen. Namun, ada 48 pos tarif yang dikenakan 0 persen. Hal ini berlaku untuk jeroan, telur, kulit, dan bulu unggas termasuk kalkun, itik, dan burung; daging dan jeroan dari domba, kuda, kambing, kelinci, serta marmot; dan beberapa produk yang termasuk kategori bibit.  Tarif impor untuk produk daging dan olahan daging yang diberlakukan Jepang untuk Indonesia beragam, dari rendah ke tinggi, yaitu berkisar dari 7 persen untuk olahan daging dan jeroan itik, hingga 25 persen untuk olahan daging dan jeroan sapi. Tarif bukanlah hambatan ekspor bagi produk peternakan. Kesulitan menembus pasar ekspor Jepang adalah memenuhi standar keamanan dan kesehatan pangan. Itu sebab, apabila suatu produk/komoditas telah diterima di pasar Jepang, maka akan lebih mudah diterima di pasar ekspor negara lain.  Sumber utama impor produk peternakan untuk Jepang adalah Amerika Serikat (AS). Selanjutnya disusul oleh Thailand, Australia, Brazil, Jerman, Selandia Baru, China, dan Uni Eropa. Dilihat dari realisasi ekspor, sebaran ekspor produk peternakan paling optimal dilakukan oleh Australia, yaitu mencapai 93,4 persen dari total potensi ekspor di pasar Jepang. AS menguasai 90 persen ekspor tanaman pangan di pasar Jepang, khususnya untuk produk serealia, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Nilai ekspor AS mencapai lebih dari $3,4 miliar. Sebaran nilai impor produk perkebunan di Jepang menunjukkan bahwa Malaysia dan Indonesia merupakan sumber utama kelapa sawit dan karet. Kontribusi negara lain dapat diabaikan karena sangat kecil. Untuk kakao dan produk kakao sumber utama impor Jepang adalah Ghana, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Uni Eropa, AS, dan Amerika Latin. Sayangnya realisasi ekspor Indonesia baru mencapai 27,4 persen dari potensi yang ada. Sementara Malaysia dan Ghana sudah di atas 70 persen. Singapura, negara tanpa tanaman kakao ini realisasi ekspor kakao dan produknya telah mecapai 100 persen potensi ekspor yang ada.  “Pesaing Indonesia untuk ekspor kopi di Jepang demikian banyak. Mulai dari eksportir terbesar Brazil, lalu disusul Kolombia, Vietnam, Guatemala, dan Ethiopia. Dengan penguatan kualitas produk, Indonesia sangat potensial untuk bisa memperluas penetrasi ekspor ke pasar Jepang,” tutup Sri optimistis.

sumber :  https://katadata.co.id/berita/2019/04/01/beberapa-produk-pertanian-indonesia-kuasai-pasar-jepang