Indonesia, Malaysia & Kolombia Siap Lawan Diskriminasi Sawit Uni Eropa,

JAKARTA – Negara-negara produsen minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil), Indonesia, Malaysia, dan Kolombia, sepakat untuk melawan diskriminasi sawit oleh Uni Eropa, Kamis (28/2/2019).

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim menilai, upaya para produsen itu akan memiliki dampak jangka panjang bagi harga komoditas itu. Sebab, Uni Eropa merupakan salah satu ekonomi terbesar di dunia. Artinya jika pasar CPO terjaga di sana, maka berpeluang mengerek harganya ke depan.

“Pasti [berdampak]. Eropa kan kiblatnya ekonomi dunia. Dari mata uangnya pun Euro lebih tinggi [nilainya dibandingkan mata uang negara lainnya],” katanya kepada Bisnis belum lama ini.

Meski begitu, dia melihat upaya UE melarang CPO merupakan hal yang sangat wajar. Sebab mereka tidak ingin minyak nabatinya seperti minyak kedelai, minyak babi, dan minyak bungaan terganggu oleh sawit. “Minyak-minyak itu asli dari Eropa. Mereka tahu bahwa CPO akan mengalahkan minyak-minyak nabati tersebut karena harganya paling murah,” katanya.

Disinggung mengenai jatuhnya harga sawit dalam 5 tahun terakhir, Ibrahim tak menampik ada juga peran kampanye hitam Eropa di dalamnya. Akibat hal itu, spekulan akan lari dari pasar.

“Terbentuknya harga kan dari spekulan. Kalau mereka lari dari pasar [sawit], harga harga tak akan terbentuk. Penawaran dan permintaan akhirnya diam di tempat. Jadi wajar kalau CPO harganya jatuh, tuh, tuh. Parah sekali,” katanya.

Dia menambahkan, tingginya harga CPO pada 2017 tak lepas dari upaya pemerintah Indonesia dan Malaysia yang bekerja sama membuat bahan bakar alternatif avtur dari sawit. Namun, setelah diuji ternyata sawit tidak dapat dijadikan avtur.

“Sebab 60% produksi sawit Malaysia dan Indonesia akan masuk ke avtur [jika rencana itu tereliasasi. Itulah yang mengangkat harga tinggi. Kenyataannya tidak [sesuai],” katanya.

Berdasarkan data Bloomberg, dalam 5 tahun terakhir, harga sawit sempat mencapai level tertingginya 2.785 ringgit per ton pada 2017. Namun kemudian terjun hingga 23,84% di level 2.121 ringgit per ton, pada Kamis (28/2/2019).

Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar menilai, upaya tersebut belum akan berdampak besar bagi harga CPO saat ini. “Sebab selama pasokan CPO tetap tinggi [harga akan tertekan]. Tercermin dari tingginya produksi CPO Malaysia dan Indonesia pada Januari [2019],” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/2/2019).

Mengutip Bloomberg, walau produksi sawit Indonesia turun 7,7% pada Januari 2019 dibandingkan Desember 2018. Akan tetapi, masih lebih tinggi dibandingkan produksi pada Januari 2018.

Begitu pun dengan Malaysia. Produksi sawit Negeri Jiran itu tercatat turun 3,9% secara bulanan, tetapi masih berada di atas level produksi pada bulan yang sama tahun lalu.

Deddy mengatakan, dalam situasi terkini, pelaku pasar lebih memperhatikan melimpahnya pasokan sawit dibandingkan dengan upaya proudusen-produsen sawit melawan Uni Eropa. “Menurut saya begitu,” katanya.

Menurut Deddy, upaya yang dilakukan berupa pengembangan biodiesel guna meningkatkan permintaan CPO sudah cukup guna mendongkrak kembali harga ke level tertingginya. Sebab dengan begitu pasokan CPO global akan terkikis.

“Meski dampaknya jangka panjang, tetapi cara ini mungkin dapat menopang laju CPO,” katanya.

sumber : https://market.bisnis.com/read/20190303/94/895665/indonesia-malaysia-kolombia-siap-lawan-diskriminasi-sawit-uni-eropa-ini-penjelasan-analis